Jumat, 15 Juli 2011

Pak Fatulloh

Sebenarnya kejadian ini agak lucu kalau kuingat. Aku ingat hari dimana aku baru memasuki SMP. Guru bahasa indonesiaku, Pak Fatulloh namanya, berkacamata tebal berambut klimis dan celana yang dipakai diatas perut, menunjukkan sekali kalau beliau adalah guru yang cukup tua namun tetap enerjik. Beliau menyuruh kami untuk membuat sebuah puisi yang nantinya akan ditampilkan didepan kelas. Sesampai dirumah aku langsung membongkar majalah-majalah tua kakak ku dan membaca setumpuk puisi-puisi didalamnya. Darisanalah kucari inspirasiku. Tak tanggung-tanggung, aku sampai membuka KBBI untuk mencari kata padanan yang lebih puitis.
Tibalah hari dimana puisi tersebut akan dikumpulkan dan dibacakan didepan kelas. Giliranku maju, aku sudah keringat dingin. Pak Fatulloh berkata kalau kita hapal puisinya, akan mendapat nilai tambahan. Semalam suntuk aku berusaha menghapalkan puisi yang telah kubuat agar benar-benar tampil maksimal. Aku pun mulai membacakan puisiku, semua terdiam...... entah karena terpana atau tidak mengerti.
Selesai membaca puisi, teman-teman memberikan tepuk tangan. Hatiku sungguh lega karena mendapat respon yang positif dari teman-teman. Aku kembali ke tempat duduk ku sambil mengulum senyum. Pak Fatulloh berdiri didepan kelas dan berkata "Wah, puisi yang sangat bagus ya anak-anak. Tapi alangkah jauh lebih bagus kalau puisi itu buatan tangan kita sendiri"

Kutatap selembar puisi buatanku di tangan, dalam hati aku merutuk kenapa terlalu bersemangat dan niat sekali mengerjakan tugas membuat puisi ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar